I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa
negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia
merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak
dipuji oleh banyak pihak sebelumnya. Bahkan persis sebelum krisis, World Bank
tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan
kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata keberhasilan pembangunan ekonomi di
negara-negara Asia tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang dan berujung
pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand,
nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia
kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp.
192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank
Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14% (Prasetyantono, 2000:26).
Tekanan yang semakin berat terhadap rupiah
mendorong Bank Indonesia untuk melepas sistem kurs mengambang terkendali
(managed floating) dan mengambangkan nilai rupiah sepenuhnya pada mekanisme
pasar uang (free floating). Kebijakan ini juga diikuti dengan dinaikkannya suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari kisaran 14%-17% sampai 28%-30%.
Strategi lain yang dipergunakan oleh otoritas moneter adalah dengan menyimpan
dana-dana dari BUMN dan yayasan milik pemerintah ke SBI.
Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan
memaksa bank untuk meningkatkan suku bunga deposito untuk menghimpun dana
masyarakat. Tetapi melonjaknya suku bunga deposito secara otomatis juga
meningkatkan suku bunga pinjaman. Akibatnya, kredit bermasalah atau
nonperforming loan pun semakin naik karena banyak kreditor tidak sanggup
membayar bunga yang tinggi.
Kelangkaan likuiditas juga mengakibatkan
banyak bank kalah kliring atau rekening gironya di Bank Indonesia bersaldo
debet. Berita mengenai kalah kliring memicu keresahan di masyarakat yang
akhirnya mendorong masyarakat untuk menarik uang mereka di bank secara
serentak. Meluasnya keresahan yang berujung pada penarikan simpanan
besar-besaran atau rush, juga turut dipicu oleh likuidasi 16 bank nasional.
Padahal tujuan pencabutan ijin usaha 16 bank tersebut dimaksudkan untuk
melakukan penataan perbankan nasional. Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI
memberikan dispensasi kepada bank-bank untuk mengikuti kliring meskipun
rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank
tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut
benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya,
banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
II.
PEMBAHASAN
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Akibat rush, bank kemudian meminta
bantuan BI sebagai lender of the last resort. Istilah ini merujuk pada
kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana
talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI2. Sesehat apa pun
sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan
sanggup memenuhinya. Terutama karena dana simpanan tersebut disalurkan kembali
ke masyarakat oleh bank dalam bentuk kredit yang tidak mungkin ditarik bank
dalam waktu sekejap. Apalagi di saat krisis ekonomi, aktivitas sektor riil
praktis berhenti dan tingkat kredit bermasalah (non-performing loan) semakin
meningkat. Dalam BLBI sendiri terdapat 5 fasilitas dengan ketentuan-ketentuan
yang berbeda sebagai berikut.
1. Fasilitas yang diberikan untuk mempertahankan
kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila terjadi mismatch antara
penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas Diskonto I, sedangkan
fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas Diskonto II.
2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka
(OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU) lelang dan bilateral.
3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau
kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi.
4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan
sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan rush atau
penarikan dana secara besar-besaran (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif
atau saldo debet (overdraft) rekening bank di Bank Indonesia.
5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan
kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri
dan dalam rangka penjaminan oleh pemerintah).
Audit oleh BPK
Tanggal 31 Desember 1999, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) telah mengeluarkan laporan audit kinerja pada Bank Indonesia per
17 Mei 1999. Dalam laporan tersebut BPK mengungkapkan jumlah BLBI yang telah
disalurkan oleh BI kepada bank penerima telah mencapai jumlah Rp. 164.536,10
miliar dan jumlah BLBI yang tidak layak dialihkan kepada pemerintah sebesar Rp.
80,24 triliun. Pengalihan hak tagih BLBI dari BI terhadap bank umum penerima
kepada pemerintah merupakan tindak lanjut dari pengalihan 54 Bank Dalam Penyehatan
dari BI ke BPPN pada Maret 1998 dan pelaksanaan program penjaminan pemerintah
yang dicanangkan melalui persetujuan bersama Gubernur BI dan Menteri Keuangan
pada tanggal 6 Februari 1999. Untuk membayar pengalihan hak tagih tersebut,
pemerintah pada tahun 1998/1999 telah menerbitkan Surat Utang (Obligasi)
senilai Rp. 164,53 triliun. Surat Utang tersebut waktu 20 tahun, termasuk masa
tenggang 5 tahun dan suku bunga 3% per tahun. Bunga dan angsuran surat utang
tersebut dibayar oleh pemerintah dari dana APBN3. Dalam laporannya, BPK
berpendapat bahwa berbagai pelanggaran telah dilakukan oleh bank yang sedang
mengalami kesulitan likuiditas dan sangat bergantung pada fasilitas BLBI,
antara lain :
·
Pelanggaran UU
Perbankan
·
Pelanggaran
prinsip kehati-hatian
·
Pelanggaran yang
berkaitan dengan pelaksanaan program penjaminan
·
Pelanggaran atas
persyaratan pemberian FSBUPK
·
Rekayasa
transaksi
Terhadap
BI, BPK memberikan sejumlah catatan, yaitu:
1. Kebijakan yang mendasari pemberian BLBI
bersifat temporer, individual, subyektif dan sering berubah yang tampak pada
kondisi-kondisi sebagai berikut;
a.
BI tidak dapat
berlaku tegas menerapkan ketentuan.
b.
Kebijakan BI
terkesan ditujukan untuk menyembunyikan informasi kepada publik.
c.
Memberlakukan
Keputusan Rapat Direksi meskipun bertentangan dengan surat Keputusan Direksi.
d.
Terjadi tiga kali
perubahan ketentuan dalam waktu 4 bulan.
2. Pemberian fasilitas SBPU Khusus tidak didasari
atas analisis kondisi keuangan bank.
3. BI memberikan fasilitas BLBI kepada bank yang
melanggar UU Perbankan.
4. Kerancuan tugas dan fungsi antara BI dan BPPN.
5. Perhitungan bunga Fasilitas Saldo Debet (FSD)
oleh BI tidak dapat diyakini kewajarannya.
6. Pelunasan FSD Bank Tiara dan Bank Dewa Rutji
belum jelas statusnya.
7. Saldo debet terus diberikan meskipun bank
sudah dinyatakan tidak ada harapan sehat.
Terhadap hasil audit BPK tersebut, Gubernur BI
berpendapat bahwa hasil audit BPK terkesan menyalahkan BI. Gubernur BI
bersikeras bahwa pengucuran BLBI mempunyai dasar yang kuat, yaitu keputusan
pemerintah dan rekomendasi DPKEK (Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan
Keuangan). Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR tanggal 25 Januari 2000,
Gubernur BI Syahril Sabirin menyatakan bahwa BLBI yang diberikan BI merupakan
konsekuensi dari pelaksanaan pemerintah sebagai lender of the last resort di
bidang perbankan. Jika tidak, ekonomi sudah hancur dan ambruk. BLBI itu seperti
ongkos yang harus ditanggung sebagai bagian untuk penyelamatan ekonomi. Dalam
kesempatan itu, Gubernur BI juga menyampaikan bahwa jumlah BLBI yang sudah
dikucurkan sampai pada posisi 29 Januari 1999 adalah Rp. 164,54 triliun. Dari
jumlah tersebut, Rp. 144,54 triliun sudah dialihkan kepada pemerintah lewat
BPPN. Sementara Rp. 20 triliun tidak dapat dialihkan ke BPPN karena merupakan
penyertaan modal pemerintah lewat Bank Exim.
Dalam rapat kerja dengan mantan menteri
keuangan lain, yaitu Mar’ie Muhammad, Fuad Bawazier, dan Bambang Subianto
tanggal 9 Februari 2000, terungkap bahwa penyaluran BLBI di luar sepengetahuan
mereka dan penyaluran BLBI merupakan tanggungjawab BI sepenuhnya. Untuk
mengetahui berbagai penyimpangan dalam kasus BLBI, baik yang dilakukan oleh BI maupun
bank penerima BLBI, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo meminta BPKP melakukan audit
investigasi berkoordinasi dengan BPK. BPKP melakukan audit terhadap Bank Beku
Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Sedangkan BPK melakukan
audit investigasi terhadap Bank Dalam Likuidasi (BDL) dan Bank Take Over (BTO).
Menurut Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, audit
investigasi dilakukan untuk mengetahui berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh
BI, bank penerima BLBI maupun pihak-pihak lain.
Audit Investigasi BPK
Kewajiban
bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah posisi tanggal 29 Januari 1999 adalah
sebagai berikut.
Hasil
audit investigasi yang dilakukan oleh BPK menemukan adanya penyimpangan dalam penyaluran
BLBI oleh BI dan penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima. Hasil temuan audit
investigasi BPK adalah sebagai berikut.
Potensi
kerugian negara akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut disebabkan adanya fakta-fakta
sebagai berikut:
1. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp. 144,53
triliun (posisi 29 Januari 1999).
2. Pemerintah harus membayar bunga kepada BI
sebesar 3% per tahun dari nilai BLBI setelah disesuaikan dengan Indeks Harga
Konsumen.
3. Bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan
BLBI kepada pemerintah.
4. Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi
kewajiban pemerintah, sesuai dengan pedoman akuntansi BI, BLBI kepada
BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian 100% dan untuk BLBI kepada BTO
akan disisihkan sebagai kerugian 2-20%.
5. BPPN dan tim likuidasi Bank-Bank Dalam
Likuidasi melakukan upaya pengembalian BLBI. Tetapi karena membutuhkan waktu,
potensi kerugian negara saat audit dilakukan belum bisa dihitung.
6. BLBI kepada BTO akan dikonversi menjadi
penyertaan (equity) pemerintah. Pengembalian BLBI akan sangat tergantung
dari divestasi yang dilakukan.
Penyimpangan dalam
Penyaluran BLBI
Audit
yang dilakukan oleh BPK secara umum menyimpulkan, dalam pemberian dana talangan
valas kepada perbankan nasional ternyata BI:
1. Tidak melakukan prosedur verifikasi dan
konfirmasi yang memadai sebelum melaksanakan pembayaran valas.
2. Melakukan pengikatan jaminan yang tidak
sepenuhnya dapat menjamin pengembalian dana talangan valas dari bank debitur
dalam negeri yang mendapat pinjaman dana talangan valas.
3. Melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan.
4. Tidak menciptakan prosedur pengendalian
terhadap penggunaan dana talangan valas oleh bank debitur dalam negeri dan
pengembalian valas dari kreditur luar negeri.
Penyimpangan Penggunaan BLBI oleh Bank
Penerima
Penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan oleh bank penerima tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Penyimpangan
terbesar dilakukan oleh 5 bank, yang mencapai 74% dari total penyimpangan 48
bank penerima BLBI. 5 Bank yang melakukan penyimpangan terbesar itu adalah
sebagai berikut.
Peran BI terhadap
penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima antara lain:
1.
Tidak
melaksanakan fungsi pengawasan perbankan
2. Tidak menerapkan sanksi secara tegas dan
konsekuen terhadap setiap pelanggaran yang terjadi.
3. Mengabaikan atau bahkan lalai dalam mengambil
langkah-langkah pengamanan yang diperlukan terhadap bank-bank yang pada laporan
berkalanya telah menunjukkan adanya pelanggaran yang cukup material, seperti:
·
Pelanggaran BMPK
·
Pelanggaran
prinsip “prudential banking” dalam penempatan dan pengambilan dana PUAB yang
telah melanggar ketentuan yang berlaku.
·
Kejanggalan-kejanggalan
mutasi akuntansi dalam laporan yang disampaikan bank-bank ke BI.
·
Tidak adanya
pengendalian yang memadai terhadap penggunaan dana-dana BLBI.
·
Adanya
diskriminasi penyaluran BLBI kepada bank-bank tertentu yang kepemilikan sahamnya
mempunyai keterkaitan dengan BI.
·
Menetapkan
kebijakan saham bank-bank tertentu mengalihkan kepemilikan saham dengan cara
selain melanggar hukum juga saham tersebut sesungguhnya merupakan agunan
terhadap BLBI (SBPUK).
·
Melakukan
intervensi valas melalui bank-bank yang rekening giro rupiahnya telah bersaldo
debet.
·
Tidak
melaksanakan program penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 26 tahun
1998 dan ketentuan pelaksanaannya dan tetap membiarkan bank-bank menyelesaikan
kewajiban jatuh tempo melalui mekanisme kliring.
Audit oleh BPKP
Audit investigasi juga dilakukan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPK melakukan audit terhadap
seluruh penyaluran BLBI dari BI kepada 48 bank penerima dan audit investigasi
terhadap penggunaan BLBI pada 5 Bank Take Over dan 15 Bank Dalam Likuidasi.
Sedangkan BPKP melakukan audit investigasi penggunaan BLBI pada 10 Bank Beku Operasi
dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha. Dalam laporannya, BPKP menyebutkan bahwa
kerugian negara disebabkan oleh peranan BI:
ü Belum melakukan pengawasan sebagaimana
mestinya.
ü Belum menerapkan sanksi terhadap pelanggaran
yang terjadi.
ü Lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang
laporannya ada indikasi pelanggaran :
·
Batas Maksimum
Pemberian Kredit
·
Prinsip
prudential Bank dalam PUAB yang longgar ketentuan
·
Kejanggalan
mutasi akuntansi
ü Tidak ada pengendalian yang memadai terhadap
penggunaan dana BLBI
ü Diskriminasi terhadap penggunaan BLBI
Selain
itu, BPKP juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI pada bank penerima
sebagai berikut.
III.
PENYELESAIAN
KASUS BLBI
Dalam upaya mengoptimalkan pengembalian uang
negara BPPN telah melakukan upaya penyelesaian dengan membuat beberapa pola
perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham bank
penerima BLBI. Perjanjian tersebut berupa:
1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban
pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi
(BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement
and acquisition agreement (MSAA), pola ini dan master refinancing
agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk
mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada
BPPN.
2. Pengkonversian BLBI pada bank-bank take
over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS).
3. Mengalihkan utang bank ke pemegang saham
pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali
(PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU).
IV.
ANALISA
TERHADAP PENYELESAIAN KORUPSI BLBI
A. KEBIJAKAN TENTANG INPRES No. 8 TAHUN 2002 RELEASE
AND DISCHARGE CACAT HUKUM
Kebijakan Release and Discharge yang
bersumber pada Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum karena telah
melanggar dan/atau bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan yang
lebih tinggi, antara lain:
UUD 1945
Pasal 1 ayat 3 menyatakan: “ Negara
Republik Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan tersebut memberikan
makna segala permasalahan negara harus diselesaikan bukan dengan kekuasaan
semata, tetapi harus sesuai dengan prosedur hukum. Kenyataannya Inpres No. 8 Tahun
2002 menunjukkan bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan yudikatif dengan
menginstruksikan membebaskan seseorang yang tersangkut kasus pidana tanpa
proses hukum melalui peradilan, atau dengan kata lain Presiden menyelesaikan
permasalahan hukum dengan kekuasaan semata.
Ketetapan MPR
Setidaknya ada tiga Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang pada intinya menyebutkan bahwa upaya
pemberantasan dan penindakan hukum dalam perkara korupsi harus dilakukan secara
tegas dan sungguh-sungguh.
Pertama, TAP MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme khususnya dalam pasal 4 secara tegas menyebutkan:
“Upaya pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga,
baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak
swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”
Kedua, TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dengan maksud untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pasal 2 ayat 2 merekomendasikan untuk:
“Melakukan penindakan
hukum yang lebih bersungguh sungguh
terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa
lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman
yang seberat beratnya.”
Ketiga, TAP MPR No. X/MPR/2001, yang isinya antara
lain, memberi penugasan pada Presiden dalam Pengelolaan dan penjualan
asset-aset yang dikelola BPPN, antara lain, “ c) Pemerintah perlu konsisten
menjalankan MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master
of Refinancing Agreement), dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya
sesuai dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS butir C Nomor
2, 3, 4 perlu diambil tindakan tegas.”;
Bahwa berdasarkan Ketetapan MPR tersebut diatas,
Presiden sebagai Madataris MPR dalam membuat kebijakan, dan atau keputusan
Presiden tidak boleh bertentangan dan harus berpedoman pada apa yang telah
digariskan oleh MPR, yaitu dalam hal kebijakan dan keputusan yang menyangkut
pelaku tindak pidana KKN, Presiden harus bertindak tegas, tanpa pandang bulu
terhadap semua kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, termasuk dalam hal penyelesaian
masalah hutang para Konglomerat hitam yang telah banyak merugikan keuangan negara,
yaitu dengan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya jika terbukti bersalah. Berdasarkan
uraian tersebut karena Inpres No. 8 Tahun 2002 memberikan pembebasan dan ampunan
pada debitur tersangka kasus korupsi maka Inpres tersebut melanggar dan/atau bertentangan
TAP MPR dalam hal pemberantasan korupsi.
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999, menyebutkan ; “
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3”;
Bahwa
Release and Discharge diberikan kepada debitur BLBI karena dianggap
telah mengembalikan hutang/uang negara. Hal ini sama dengan pengertian
tersangka telah mengembalikan kerugian negara dalam rumusan pasal 4 UU No. 31
tahun 1999. Oleh karena itu Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menyatakan pemberian Release
and Discharge membebaskan debitur dari tuntutan pidana karena dianggap
sudah mengembalikan uang negara, adalah bertentangan ketentuan UU No. 31 Tahun
1999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan
dipidananya seseorang.
UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1991,
menyebutkan antara lain ; “... kejaksaan, adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan”. Demikian juga pasal 1 ayat
(3) menyatakan ; “ Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.”
Selanjutnya penjelasan umum UU No.5 Tahun
1991,menyatakan antara lain ; “ …Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah
pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan
dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan YME dan senantiasa menjunjung tinggi
prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya didalam hukum” Ketentuan UU
Kejaksaan tersebut telah secara tegas menyatakan “ Kejaksaan melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan “ artinya Presiden sebagai kepala Pemerintahan tidak
dapat semena semena memerintahkan pada Kejaksaan untuk membebaskan seseorang
yang terdapat cukup bukti diduga melakukan tindak pidana, khususnya dalam
tindak pidana korupsi. UU 31 Tahun 1999 sudah secara tegas menyatakan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang,
maka menurut hukum Kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN ke
pengadilan walaupun sudah mendapatkan Release and Discharge dari BPPN.
Dengan pertimbangan bahwa Inpres No. 8 Tahun
2002 adalah cacat hukum maka penghentian penyidikan (SP3) yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung pada tahun 2003 terhadap sedikitnya 10 debitur BLBI yang telah
mendapatkan R&D harus juga dinyatakan sebagai cacat hukum. Pemberian Surat
Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur yang dinilai kooperatif hanya menghilangkan
aspek keperdataannya sedangkan secara pidana proses hukum terhadap debitur yang
diduga melakukan penyimpangan dana BLBI harus terus berjalan hingga ke tahap pengadilan.
B. TIDAK ADA ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA BAGI PARA
DEBITUR YANG MELAKUKAN PENYIMPANGAN DANA BLBI
Dalam
teori ilmu hukum pidana terdapat beberapa alasan yang menghapuskan pidana
seseorang yang terdiri atas 7 :
1. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapaskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat
melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana , tetapi dia tidak dipidana
karena tidak ada kesalahan.
3. Alasan penghapusan penuntutan, dengan dasar
pertimbangan utilitas atau kemanfaatan dimasyarakat (atau istilah lainya
kepentingan umum), maka sesorang meskipun dinilai melakukan perbuatan melawan
hukum, pemerintah dapat tidak mengajukan penuntutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sendiri terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang penghapusan pidana antara
lain:
1. Pasal 48 KUHP
Tidak dapat dipidana barangsiapa yang
melakukan perbuatan, karena pengaruh daya paksa (overmacht).
2.
Pasal 51
ayat (1) KUHP
Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana.
3.
Pasal 50
KUHP
Tidak dapat dipidana, barangsiapa yang
melakukan perbuatan untuk melakukan ketentuan undang-undang
Pada prinsipnya, penyaluran dana BLBI hanya
boleh dipergunakan untuk membayar atau melunasi kewajiban bank kepada pihak
ketiga atau dalam hal ini dana nasabah. Namun kenyataannya dari total
penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp. 144,53 triliun, audit investigasi
BPK tahun 2000 telah ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan para Bank Penerima
BLBI. Sebanyak 11 jenis penyimpangan yang ditemukan dalam penggunaan dana BLBI yang
nilainya mencapai Rp. 84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan BLBI (per 29
Januari 1999).
Apa yang dilakukan oleh para oleh para debitur
dalam menggunakan dana BLBI- yang dinilai sebagai penyimpangan oleh BPK dan
merugikan keuangan negara- tidaklah tepat untuk diterapkan ketentuan
penghapusan pidana sebagaimana yang diatur dalam beberapa ketentuan KUHP
tersebut. Karena perbuatan yang dilakukan para debitur tersebut tidak dapat diklasifikasikan
sebagai perbuatan yang dilakukan dalam kondisi memaksa/darurat (overmacht),
melaksanakan perintah jabatan, maupun melaksanakan ketentuan undang-undang.
Selain penghapusan pidana, KUHP juga mengatur
mengenai peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara
umum dalam bab VIII buku I KUHP antara lain :
1. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap mengenai tindak pidana yang sama (nebis in idem) (pasal 76 KUHP);
2. Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP);
3. Perkara tersebut daluwarsa (pasal 78 KUPH);
4. Terjadinya penyelesaian di luar persidangan
(pasal 82 KUHP)
Jika melihat dari kriteria-kriteria tersebut,
maka tidak ada satupun kriteria yang dapat dijadikan alasan untuk menghentikan
penyidikan atas kasus BLBI. Selain ketentuan yang diatur dalam KUHP, UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dalam pasal 4 jelas
menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Dengan
demikian Surat Keterangan Lunas atau release and discharge bukan merupakan
alasan penghapusan pidana atau peniadaan tuntutan sehingga para debitur BLBI yang
dinilai tidak memliki itikad baik dan melakukan penyimpangan penggunaan dana
BLBI harus tetap diproses hingga di pengadilan.
C. CATATAN TERHADAP PROSES HUKUM PERKARA KORUPSI
BLBI SELAMA INI
1. Tidak Serius
Selain karena adanya intervensi dari presiden,
salah satu sebab berlarut-larutnya penyelesaian perkara korupsi BLBI karena
ketidakseriusan aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Agung. Sejak kasus
korupsi BLBI mulai ditangani oleh kejaksaan tahun 2000, dari 65 orang tersangka
yang dilakukan pemeriksaan, saat ini baru 16 orang tersangka atau kurang dari
25 persen yang telah dilimpahkan ke pengadilan.
Beberapa tersangka seperti Indarto Hovart
Tantular (korupsi BLBI Bank Central Dagang senilai Rp 1,4 triliun) dan I Gede
Darmawan ( korupsi BLBI Bank Aken senilai Rp 17 miliar ) sejak tahun 2001
kasusnya sudah pada tahap penyidikan namun hinggá saat ini belum juga
dilimpahkan ke pengadilan.
Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Abdul Rachman
Saleh juga tidak menunjukkan langkah kongkrit untuk segera menyelesaikan kasus
korupsi BLBI yang selama ini mandeg ditingkat penyidikan. Langkah yang
dilakukan pihak kejaksaan hanya sebatas evaluasi dan rencana. Pada 12 Juli 2005
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji, menyatakan berencana
mengevaluasi sekitar 30 kasus terkait BLBI tahun 1998-2003. Masing-masing kasus
akan dievaluasi selama dua bulan, dan berkas kasus yang lengkap akan segera
diajukan ke persidangan. Namun sempai akhir tahun 2005 tidak ada satupun kasus
korupsi BLBI yang dilimpahkan ke pengadilan.
Begitu pula dengan rencana Kejaksaan yang akan
mengajukan persidangan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa)
terhadap Agus Anwar Bos Bank Pelita yang diduga telah merugikan keuangan
negara senilai Rp 1, 9 triliun dan melarikan diri ke Singapura. Rencana ini
akhirnya gagal direalisasikan tanpa alasan yang jelas.
2. Tidak Transparan
Persoalan lain yang muncul dalam penuntasan
perkara korupsi BLBI adalah tidak tranparannya informasi atas perkembangan
penanganan perkara yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian. Dalam
catatan ICW pihak Kejaksaan Agung hanya satu kali melaporkan perkembangan
perkara korupsi BLBI cukup terperinci (karena menyebutkan proses
hukum mulai tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan hingga ekeskusi) pada
saat pertemuan dengan Komisi Hukum DPR RI (dahulu Komisi II) tanggal 6 Desember
2001. Setelah pertemuan tersebut, dan telah terjadi pergantian pemerintahan dan
jaksa agung, pihak kejaksaan tidak lagi melaporkan lagi perkembangan penenagan
perkara korupsi BLBI kepada komisi III DPR RI. Jikapun dilaporkan biasanya
sebatas pelaksanaan eksekusi dari para terpidana korupsi kasus BLBI (lihat
Rapat Kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR, 29 November 2005).
Problem tersebut pada akhirnya menimbulkan
ketidakjelasan di tengah masyarakat mengenai perkembangan proses hukum dari
para debitur BLBI yang diduga merugikan kerugian negara miliaran rupiah (berapa
yang sudah dilakukan penyelidikan, penyidikan, diproses di pengadilan, dan
telah dieksekusi). Berapa banyak debitur BLBI yang dihentikan penyidikannya (SP3)
oleh kejaksaan juga tidak jelas. Hal ini dikarenakan kejaksaan tidak secara
terbuka mengumumkan siapa saja tersangka kasus korupsi BLBI yang telah di
SP311. Terdapat indikasi bahwa pihak kejaksaan sengaja untuk menutup-nutupi hal
tersebut.
3. Hasil yang Tidak Memuaskan Ditingkat
Pengadilan
Meskipun sudah 16 orang pelaku korupsi BLBI
yang diproses ke pengadilan namun secara keseluruhan hasil yang dicapai sangat
mengecewakan. Tiga tersangka dibebaskan oleh pengadilan (Leonard Tanubrata dan
Kaharudin Ongko dan Leo Ardiyanto).
Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara
oleh hakim (baik di tingkat pertama (PN), Banding atau Kasasi), 6 terdakwa
divonis dibawah 18 bulan dan 2 terdakwa divonis 4 dan 8 tahun. Selebihnya 5
orang meskipun divonis seumur hidup dan 20 tahun penjara namun putusannya dijatuhkan
tanpa kehadiran para terdakwa (in absentia).
Saat
ini baru dua orang yang berhasil dijebloskan ke penjara yaitu Hendrawan Haryono
- terpidana kasus korupsi BLBI Bank Aspac – dan David Nusa Widjaya- terpidana
kasus korupsi
BLBI
Bank Servitia. Empat terdakwa masih dalam proses banding/kasasi meskipun
ditingkat pertama telah dinyatakan bersalah dan dihukum penjara namun tidak
langsung diperintahkan masuk ke bui. Dan yang paling buruk adalah 7 orang
terdakwa telah melarikan diri keluar negeri ketika vonis hakim dijatuhkan.
Dari segi kualitas mayoritas vonis hakim yang
dijatuhkan sangat tidak sebanding dengan nilai kerugian negara yang telah
ditimbulkan. Hendri Sunardyo dan Jemy Sutjiwan yang didakwa melakukan korupsi
dana BLBI Bank South East Asia Bank sebesar Rp 280 miliar meskipun oleh hakim
dinyatakan terbukti bersalah hanya divonis 10 bulan dan 8 bulan penjara.
Soemeri dan Supari Dhirjo Prawiro yang diduga merugikan kerugian negara sebesar
Rp 305 miliar dalam penyimpangan BLBI Bank Ficorinvest hanya divonis 18 bulan
penjara.
4. Butuh Waktu Lama Hingga Putusan Berkekuatan
Hukum Tetap dan Dapat Dieksekusi
Pada asasnya proses pengadilan dilaksanakan
secara cepat, sederhana dan murah. Namun prakteknya proses pengadilan di
Indonesia (baik pidana maupun perdata) tidak cepat, tidak sederhana dan tidak
murah. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun suatu perkara memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Proses yang memakan waktu lama ini disebabkan
karana hukum di Indonesia tidak mengenal adanya limitasi waktu penyelesaian
perkara baik ditingkat pertama, banding, kasasi hingga peninjauan kembali.
Selain itu juga disebabkan karena para pihak dimungkinkan untuk mengajukan
upaya hukum apabila tidak menerima putusan yang dijatuhkan hakim.
Hal yang sama juga terjadi dalam penyeleaian
kasus korupsi BLBI yang prosesnya telah dilimpahkan ke pengadilan. Dari 16
kasus korupsi yang telah dilimpahkan baru 5 kasus yang telah divonis di tingkat
kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap), selebihnya atau 11 kasus masih dalam
proses dan tidak jelas. Waktu pemeriksaan yang lama hingga adanya putusan inkracht
kenyataanya juga menjadi peluang bagi para terdakwa untuk melarikan diri.
Hendrawan Haryono terpidana korupsi BLBI Bank
Aspac misalnya, proses hukumnya memakan waktu 4 tahun mulai dari diadili hingga
adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Herdawaan mulai diadili pada tahun 2001 dan baru bisa dieksekusi setelah adanya
putusan Peninjauan Kembali MA yang memvonisnya 1 tahun penjara pada tahun 2005.
5. Adanya Indikasi Judicial Corruption dalam
Setiap Tahap Peradilan
Tidak tranparannya penyelesiaian perkara
korupsi BLBI pada akhirnya membuka potensi adanya korupsi dalam penanganan
perkara tersebut mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga
putusan. Pengakuan tiga debitor BLBI Bank yakni Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian),
James Januardi (Bank Namura-Yasonta), serta Atang Latief (Bank BIRA) yang menyatakan
mereka diperas oleh oknum kejaksaan membuktikan adanya praktek korupsi dalam penyelesaian
proses hukum BLBI ditingkat penyelidikan/penyidikan.
Tuntutan jaksa yang ringan maupun vonis bebas
dan ringan setidaknya juga menunjukkan adanya indikasi praktek kolusi antara
aparat hukum dengan terdakwa. Hal ini bisa dilihat pada kasus korupsi BLBI Bank
Aspac, Setiawan Haryono yang didakwa melakukan penyimpangan dana BLBI dan telah
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 583 miliar oleh jaksa penuntut umum hanya
dituntut 6 bulan penjara.
Kejanggalan juga muncul saat PN Jakarta Barat
menjatuhkan vonis bebas terhadap Samadikun Hartono yang didakwa melakukan
korupsi dana BLBI Bank Modern senilai Rp 169 miliar lebih. Banyak kalangan
menilai pertimbangan yang dibuat oleh majelis hakim dianggap tidak masuk akal
dan hanya mencari pembenar yang menguntungkan mantan bos Bank Modern. Putusan
ini sendiri akhirnya dibatalkan ditingkat kasasi setelah MA menyatakan
Samadikun bersalah dan dijatuhi vonis 4 tahun penjara. Sayangnya vonis ini
tidak dapat diekskusi karena terpidana telah melarikan diri keluar negeri.
D. ALTERNATIF PENYELESAIAN
Setidaknya
ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam memecahkan
kebuntuanpenyelesaian perkara korupsi BLBI.
1. Pemberian Jaminan Adanya Grasi terhadap
Debitur BLBI yang menjalani proses hukum dan bersedia mengembalikan seluruh
utangnya kepada negara
Seperti yang telah banyak diuraikan
sebelumnya, kebijakan presiden dalam penyelesian kasus BLBI dalam bentuk Inpres
No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge dapat diartikan sebagai
bentuk intervensi presiden terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Langkah kompromi
dan diskriminatif khsusus kepada para debitur BLBI juga menunjukkan kesan bahwa
pemerintah lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada
penegakan hukumnya. Bagaimanapun juga bentuk intervensi yang dilakukan
pemerintah dengan pengeluaran Inpres tersebut tidak dapat dibenarkan karena
telah bertentangan dengan sejumlah paraturan perundang-undangan.
Secara legal sesungguhnya Presiden dapat
melakukan “intervensi” dalam penyelesaian kasus korupsi BLBI dengan cara
memberikan grasi. Kebijakan ini dilakukan tidak terhadap proses hukum yang
sedang berjalan (masih dalam tahap penyelidikan,penyidikan atau penuntutan) namun
setelah proses hukumnya selesai dilaksanakan (dalam arti telah ada putusan berkekuatan
hukum tetap).
Dalam penjelasan UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi disebutkan bahwa Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam
bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian
grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait
dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur
tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk
memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan,
mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan
rehabilitasi terhadap terpidana.
Namun pemberian grasi ini dapat dilakukan
dengan mensyaratkan pada dua hal. Pertama, proses hukum harus tetap
berjalan. Hal ini berarti bahwa para debitur BLBI tersebut harus menjalani
proses hukum hinggá ke pengadilan dan telah mempunyai putusan berkekuatan hukum
tetap (inkracht). Kedua, para debitur BLBI tersebut menyesal dan
mengkui perbuatannya serta mengembalikan seluruh kerugian negara
(membayar seluruh utangnya kepada negara ditambah dengan bunga) yang
telah dinikmatinya.
Atas putusan pengadilan tersebut Chun
menyatakan menerima dan menyesali perbuatannya serta sekaligus meminta maaf
kepada seluruh rakyat Korea Selatan dan dilanjutkan dengan mengembalikan
seluruh hasil korupsi yang pernah dilakukan. Pada akhirnya Chun tidak menjalani
hukuman karena adanya pengampunan yang diberikan oleh Presiden Korea
Selatan yang saat itu berkuasa, Kim Dae Jung.
2. Pengambilalihan oleh KPK
Alternatif lain yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan permasalahan korupsi BLBI adalah dengan meminta KPK untuk
mengambil alih penanganan perkara yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan dan
Kepolisian. Berdasarkan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002 disebutkan KPK dapat mengambil
alih penyidikan dan penuntutan dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana
korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara
berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan
untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung
unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi
karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f.
keadaan lain yang
menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana
korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan
Penanganan
perkara korupsi BLBI yang selama ini dilakukan kejaksaan (dan juga kepolisian)
setidaknya
telah memenuhi 4 dari 6 alasan yang ditentukan oleh pasal 9 UU KPK yaitu:
Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan
mengapa KPK merupakan institusi yang tepat dalam menangani perkara korupsi
BLBI. Pertama, KPK tidak mengenal penghentian penyidikan apabila perkara
korupsi yang ditanganinya telah masuk tahap penyidikan. Kedua, tugas dan
kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh KPK sehingga penanganan perkara
korupsi relatif tidak mengalami hambatan. Ketiga, minim terhadap adanya
indikasi judicial corruption dan ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi
yang sesungguhnya dalam penanganan perkara mulai tahap penyidikan hingga proses
dipengadilan karena secara integritas SDM yang ada di KPK dan juga pengadilan
tipikor masih dapat dipercaya.
Keempat, relatif
tidak mengalami gangguan atau intervensi dari ekskutif, yudikatif dan legislatif.
Kelima, waktu penanganan relatif lebih cepat khususnya apabila perkara
telah dilimpahkan ke pengadilan tipikor. UU No. 30 Tahun 2002 mengenal adanya
limitasi pemeriksaan perkara korupsi di pengadilan tipikor. Hanya butuh waktu
maksimal 8 bulan hingga suatu perkara telah mempunyai putusan inkracht dan
dapat dieksekusi. Keenam, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan
tipikor jauh lebih adil dan lebih berat dari pengadilan biasa. Kecil kemungkinan
pengadilan tipikor akan membebaskan terdakwa kasus korupsi.
V.
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Kebijakan pemerintah dalam penyelesaian kasus
BLBI yang lebih mengutamakan mendapatkan pengembalian utang dari para
konglomerat pada akhirnya telah mengabaikan prinsip bahwa semua orang sama
didepan hukum (equality before the law) dan bertindak jauh dari rasa
keadilan dalam masyarakat karena memberikan keistimewaan bagi para pelaku
korupsi BLBI serta mengaburkan pengertian “demi kepentingan hukum” sebagai suatu
alasan untuk menghentikan penuntutan.
2. Kebijakan pemerintah dalam penyelesaian
perkara korupsi BLBI dalam bentuk Inpres No. 8 Tahun 2002 merupakan produk
hukum yang cacat hukum karena bertentangan dengan sejumlah peraturan
perundang-undanagan yang lebih tinggi seperti UUD 45, TAP MPR, UU No. 31 Tahun
1999 dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Kejaksaan. Selain itu Inpres ini merupakan
bentuk intervensi pemerintah terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan.
Dengan demikian segala langkah/tindakan yang diambil berdasarkan Inpres tersebut
harus juga dianggap cacat hukum.
3. Tidak ada alasan penghapusan pidana bagi para
debitur yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI. Surat
Keterangan Lunas maupun R&D hanya melepaskan dan membebaskan dari aspek keperdataannya
namun secara pidana proses hukum harus tetap berjalan hingga proses ke
pengadilan.
4. Penanganan perkara korupsi BLBI yang selama
ini ditangani oleh aparat penegak hukum khususnya kejaksaan pada prakteknya
menunjukkan beberapa catatan buruk seperti ketidakseriusan kejaksaan dalam
penuntasan perkara korupsi BLBI, tidak transparannya penanganan perkara korupsi
, hasil yang tidak memuaskan ditingkat pengadilan, terdapat indikasi judicial
corruption dalam penanganan perkara, dan memakan waktu yang lama hingga
terpidana dapat dieksekusi.
B. Rekomendasi
1.
Presiden harus
mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang R&D karena bertentangan dengan
sejumlah peraturan perundangan. Sebagai gantinya Presiden perlu menerbitkan Inpres
baru mengenai kebijakan penyelesaian kasus BLBi yang tranparan dan adil dengan tetap
mengedepankan proses penegakan hukum. Perlu dipertimbngkan adanaya kebijakan khusus
dalam bentuk jaminan pemberian grasi bagi para debitur BLBI yang bersedia menjalani
proses hukum dan memenuhi kewajiban menyelesaikan hutang berikut bunganya kepada
negara.
2.
KPK perlu
mengambil alih proses hukum perkara korupsi BLBI yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan
maupun Kepolisian. Beberapa fakta dalam penanganan perkara korupsi BLBI yang
selama ini ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan telah memenuhi alasan bagi
KPK untuk mengambil alih perkara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Infoblbi.com/files/200805211715470....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar