Rabu, 15 Agustus 2012

Tugas Sistem Informasi Akuntansi (Kasus fraud BLBI)


I.                    PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya. Bahkan persis sebelum krisis, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang dan berujung pada krisis ekonomi.
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14% (Prasetyantono, 2000:26).
Tekanan yang semakin berat terhadap rupiah mendorong Bank Indonesia untuk melepas sistem kurs mengambang terkendali (managed floating) dan mengambangkan nilai rupiah sepenuhnya pada mekanisme pasar uang (free floating). Kebijakan ini juga diikuti dengan dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari kisaran 14%-17% sampai 28%-30%. Strategi lain yang dipergunakan oleh otoritas moneter adalah dengan menyimpan dana-dana dari BUMN dan yayasan milik pemerintah ke SBI.
Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank untuk meningkatkan suku bunga deposito untuk menghimpun dana masyarakat. Tetapi melonjaknya suku bunga deposito secara otomatis juga meningkatkan suku bunga pinjaman. Akibatnya, kredit bermasalah atau nonperforming loan pun semakin naik karena banyak kreditor tidak sanggup membayar bunga yang tinggi.
Kelangkaan likuiditas juga mengakibatkan banyak bank kalah kliring atau rekening gironya di Bank Indonesia bersaldo debet. Berita mengenai kalah kliring memicu keresahan di masyarakat yang akhirnya mendorong masyarakat untuk menarik uang mereka di bank secara serentak. Meluasnya keresahan yang berujung pada penarikan simpanan besar-besaran atau rush, juga turut dipicu oleh likuidasi 16 bank nasional. Padahal tujuan pencabutan ijin usaha 16 bank tersebut dimaksudkan untuk melakukan penataan perbankan nasional. Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.


II.                  PEMBAHASAN

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Akibat rush, bank kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Istilah ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI2. Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya. Terutama karena dana simpanan tersebut disalurkan kembali ke masyarakat oleh bank dalam bentuk kredit yang tidak mungkin ditarik bank dalam waktu sekejap. Apalagi di saat krisis ekonomi, aktivitas sektor riil praktis berhenti dan tingkat kredit bermasalah (non-performing loan) semakin meningkat. Dalam BLBI sendiri terdapat 5 fasilitas dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda sebagai berikut.
1.      Fasilitas yang diberikan untuk mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas Diskonto I, sedangkan fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas Diskonto II.
2.      Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU) lelang dan bilateral.
3.      Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi.
4.      Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan rush atau penarikan dana secara besar-besaran (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau saldo debet (overdraft) rekening bank di Bank Indonesia.
5.      Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dan dalam rangka penjaminan oleh pemerintah).


Audit oleh BPK
Tanggal 31 Desember 1999, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengeluarkan laporan audit kinerja pada Bank Indonesia per 17 Mei 1999. Dalam laporan tersebut BPK mengungkapkan jumlah BLBI yang telah disalurkan oleh BI kepada bank penerima telah mencapai jumlah Rp. 164.536,10 miliar dan jumlah BLBI yang tidak layak dialihkan kepada pemerintah sebesar Rp. 80,24 triliun. Pengalihan hak tagih BLBI dari BI terhadap bank umum penerima kepada pemerintah merupakan tindak lanjut dari pengalihan 54 Bank Dalam Penyehatan dari BI ke BPPN pada Maret 1998 dan pelaksanaan program penjaminan pemerintah yang dicanangkan melalui persetujuan bersama Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada tanggal 6 Februari 1999. Untuk membayar pengalihan hak tagih tersebut, pemerintah pada tahun 1998/1999 telah menerbitkan Surat Utang (Obligasi) senilai Rp. 164,53 triliun. Surat Utang tersebut waktu 20 tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun dan suku bunga 3% per tahun. Bunga dan angsuran surat utang tersebut dibayar oleh pemerintah dari dana APBN3. Dalam laporannya, BPK berpendapat bahwa berbagai pelanggaran telah dilakukan oleh bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas dan sangat bergantung pada fasilitas BLBI, antara lain :
·        Pelanggaran UU Perbankan
·        Pelanggaran prinsip kehati-hatian
·        Pelanggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan program penjaminan
·        Pelanggaran atas persyaratan pemberian FSBUPK
·        Rekayasa transaksi

Terhadap BI, BPK memberikan sejumlah catatan, yaitu:
1.      Kebijakan yang mendasari pemberian BLBI bersifat temporer, individual, subyektif dan sering berubah yang tampak pada kondisi-kondisi sebagai berikut;
a.      BI tidak dapat berlaku tegas menerapkan ketentuan.
b.      Kebijakan BI terkesan ditujukan untuk menyembunyikan informasi kepada publik.
c.       Memberlakukan Keputusan Rapat Direksi meskipun bertentangan dengan surat Keputusan Direksi.
d.      Terjadi tiga kali perubahan ketentuan dalam waktu 4 bulan.
2.      Pemberian fasilitas SBPU Khusus tidak didasari atas analisis kondisi keuangan bank.
3.      BI memberikan fasilitas BLBI kepada bank yang melanggar UU Perbankan.
4.      Kerancuan tugas dan fungsi antara BI dan BPPN.
5.      Perhitungan bunga Fasilitas Saldo Debet (FSD) oleh BI tidak dapat diyakini kewajarannya.
6.      Pelunasan FSD Bank Tiara dan Bank Dewa Rutji belum jelas statusnya.
7.      Saldo debet terus diberikan meskipun bank sudah dinyatakan tidak ada harapan sehat.

Terhadap hasil audit BPK tersebut, Gubernur BI berpendapat bahwa hasil audit BPK terkesan menyalahkan BI. Gubernur BI bersikeras bahwa pengucuran BLBI mempunyai dasar yang kuat, yaitu keputusan pemerintah dan rekomendasi DPKEK (Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan). Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR tanggal 25 Januari 2000, Gubernur BI Syahril Sabirin menyatakan bahwa BLBI yang diberikan BI merupakan konsekuensi dari pelaksanaan pemerintah sebagai lender of the last resort di bidang perbankan. Jika tidak, ekonomi sudah hancur dan ambruk. BLBI itu seperti ongkos yang harus ditanggung sebagai bagian untuk penyelamatan ekonomi. Dalam kesempatan itu, Gubernur BI juga menyampaikan bahwa jumlah BLBI yang sudah dikucurkan sampai pada posisi 29 Januari 1999 adalah Rp. 164,54 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp. 144,54 triliun sudah dialihkan kepada pemerintah lewat BPPN. Sementara Rp. 20 triliun tidak dapat dialihkan ke BPPN karena merupakan penyertaan modal pemerintah lewat Bank Exim.

Dalam rapat kerja dengan mantan menteri keuangan lain, yaitu Mar’ie Muhammad, Fuad Bawazier, dan Bambang Subianto tanggal 9 Februari 2000, terungkap bahwa penyaluran BLBI di luar sepengetahuan mereka dan penyaluran BLBI merupakan tanggungjawab BI sepenuhnya. Untuk mengetahui berbagai penyimpangan dalam kasus BLBI, baik yang dilakukan oleh BI maupun bank penerima BLBI, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo meminta BPKP melakukan audit investigasi berkoordinasi dengan BPK. BPKP melakukan audit terhadap Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Sedangkan BPK melakukan audit investigasi terhadap Bank Dalam Likuidasi (BDL) dan Bank Take Over (BTO).
Menurut Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, audit investigasi dilakukan untuk mengetahui berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh BI, bank penerima BLBI maupun pihak-pihak lain.

Audit Investigasi BPK
Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah posisi tanggal 29 Januari 1999 adalah sebagai berikut.


Hasil audit investigasi yang dilakukan oleh BPK menemukan adanya penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI dan penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima. Hasil temuan audit investigasi BPK adalah sebagai berikut.


Potensi kerugian negara akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut disebabkan adanya fakta-fakta sebagai berikut:
1.      BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp. 144,53 triliun (posisi 29 Januari 1999).
2.      Pemerintah harus membayar bunga kepada BI sebesar 3% per tahun dari nilai BLBI setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen.
3.      Bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah.
4.      Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan pedoman akuntansi BI, BLBI kepada BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian 100% dan untuk BLBI kepada BTO akan disisihkan sebagai kerugian 2-20%.
5.      BPPN dan tim likuidasi Bank-Bank Dalam Likuidasi melakukan upaya pengembalian BLBI. Tetapi karena membutuhkan waktu, potensi kerugian negara saat audit dilakukan belum bisa dihitung.
6.      BLBI kepada BTO akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah. Pengembalian BLBI akan sangat tergantung dari divestasi yang dilakukan.

Penyimpangan dalam Penyaluran BLBI
Audit yang dilakukan oleh BPK secara umum menyimpulkan, dalam pemberian dana talangan valas kepada perbankan nasional ternyata BI:
1.      Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum melaksanakan pembayaran valas.
2.      Melakukan pengikatan jaminan yang tidak sepenuhnya dapat menjamin pengembalian dana talangan valas dari bank debitur dalam negeri yang mendapat pinjaman dana talangan valas.
3.      Melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan.
4.      Tidak menciptakan prosedur pengendalian terhadap penggunaan dana talangan valas oleh bank debitur dalam negeri dan pengembalian valas dari kreditur luar negeri.

Penyimpangan Penggunaan BLBI oleh Bank Penerima
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh bank penerima tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.


Penyimpangan terbesar dilakukan oleh 5 bank, yang mencapai 74% dari total penyimpangan 48 bank penerima BLBI. 5 Bank yang melakukan penyimpangan terbesar itu adalah sebagai berikut.


Peran BI terhadap penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima antara lain:
1.      Tidak melaksanakan fungsi pengawasan perbankan
2.      Tidak menerapkan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran yang terjadi.
3.      Mengabaikan atau bahkan lalai dalam mengambil langkah-langkah pengamanan yang diperlukan terhadap bank-bank yang pada laporan berkalanya telah menunjukkan adanya pelanggaran yang cukup material, seperti:
·        Pelanggaran BMPK
·        Pelanggaran prinsip “prudential banking” dalam penempatan dan pengambilan dana PUAB yang telah melanggar ketentuan yang berlaku.
·        Kejanggalan-kejanggalan mutasi akuntansi dalam laporan yang disampaikan bank-bank ke BI.
·        Tidak adanya pengendalian yang memadai terhadap penggunaan dana-dana BLBI.
·        Adanya diskriminasi penyaluran BLBI kepada bank-bank tertentu yang kepemilikan sahamnya mempunyai keterkaitan dengan BI.
·        Menetapkan kebijakan saham bank-bank tertentu mengalihkan kepemilikan saham dengan cara selain melanggar hukum juga saham tersebut sesungguhnya merupakan agunan terhadap BLBI (SBPUK).
·        Melakukan intervensi valas melalui bank-bank yang rekening giro rupiahnya telah bersaldo debet.
·        Tidak melaksanakan program penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 26 tahun 1998 dan ketentuan pelaksanaannya dan tetap membiarkan bank-bank menyelesaikan kewajiban jatuh tempo melalui mekanisme kliring.

Audit oleh BPKP
Audit investigasi juga dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPK melakukan audit terhadap seluruh penyaluran BLBI dari BI kepada 48 bank penerima dan audit investigasi terhadap penggunaan BLBI pada 5 Bank Take Over dan 15 Bank Dalam Likuidasi. Sedangkan BPKP melakukan audit investigasi penggunaan BLBI pada 10 Bank Beku Operasi dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha. Dalam laporannya, BPKP menyebutkan bahwa kerugian negara disebabkan oleh peranan BI:
ü  Belum melakukan pengawasan sebagaimana mestinya.
ü  Belum menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.
ü  Lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang laporannya ada indikasi pelanggaran :
·        Batas Maksimum Pemberian Kredit
·        Prinsip prudential Bank dalam PUAB yang longgar ketentuan
·        Kejanggalan mutasi akuntansi
ü  Tidak ada pengendalian yang memadai terhadap penggunaan dana BLBI
ü  Diskriminasi terhadap penggunaan BLBI

Selain itu, BPKP juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI pada bank penerima sebagai berikut.


III.                PENYELESAIAN KASUS BLBI

Dalam upaya mengoptimalkan pengembalian uang negara BPPN telah melakukan upaya penyelesaian dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham bank penerima BLBI. Perjanjian tersebut berupa:
1.      Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreement (MSAA), pola ini dan master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN.
2.      Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS).
3.      Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU).


IV.                ANALISA TERHADAP PENYELESAIAN KORUPSI BLBI

A.     KEBIJAKAN TENTANG INPRES No. 8 TAHUN 2002 RELEASE AND DISCHARGE CACAT HUKUM
Kebijakan Release and Discharge yang bersumber pada Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum karena telah melanggar dan/atau bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan yang lebih tinggi, antara lain:

UUD 1945
Pasal 1 ayat 3 menyatakan: “ Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan tersebut memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan bukan dengan kekuasaan semata, tetapi harus sesuai dengan prosedur hukum. Kenyataannya Inpres No. 8 Tahun 2002 menunjukkan bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan yudikatif dengan menginstruksikan membebaskan seseorang yang tersangkut kasus pidana tanpa proses hukum melalui peradilan, atau dengan kata lain Presiden menyelesaikan permasalahan hukum dengan kekuasaan semata.

Ketetapan MPR
Setidaknya ada tiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang pada intinya menyebutkan bahwa upaya pemberantasan dan penindakan hukum dalam perkara korupsi harus dilakukan secara tegas dan sungguh-sungguh.

Pertama, TAP MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme khususnya dalam pasal 4 secara tegas menyebutkan:
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”

Kedua, TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dengan maksud untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pasal 2 ayat 2 merekomendasikan untuk:
“Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat beratnya.”

Ketiga, TAP MPR No. X/MPR/2001, yang isinya antara lain, memberi penugasan pada Presiden dalam Pengelolaan dan penjualan asset-aset yang dikelola BPPN, antara lain, “ c) Pemerintah perlu konsisten menjalankan MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master of Refinancing Agreement), dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS butir C Nomor 2, 3, 4 perlu diambil tindakan tegas.”;

Bahwa berdasarkan Ketetapan MPR tersebut diatas, Presiden sebagai Madataris MPR dalam membuat kebijakan, dan atau keputusan Presiden tidak boleh bertentangan dan harus berpedoman pada apa yang telah digariskan oleh MPR, yaitu dalam hal kebijakan dan keputusan yang menyangkut pelaku tindak pidana KKN, Presiden harus bertindak tegas, tanpa pandang bulu terhadap semua kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, termasuk dalam hal penyelesaian masalah hutang para Konglomerat hitam yang telah banyak merugikan keuangan negara, yaitu dengan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya jika terbukti bersalah. Berdasarkan uraian tersebut karena Inpres No. 8 Tahun 2002 memberikan pembebasan dan ampunan pada debitur tersangka kasus korupsi maka Inpres tersebut melanggar dan/atau bertentangan TAP MPR dalam hal pemberantasan korupsi.

UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999, menyebutkan ; “ Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”;
Bahwa Release and Discharge diberikan kepada debitur BLBI karena dianggap telah mengembalikan hutang/uang negara. Hal ini sama dengan pengertian tersangka telah mengembalikan kerugian negara dalam rumusan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999. Oleh karena itu Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menyatakan pemberian Release and Discharge membebaskan debitur dari tuntutan pidana karena dianggap sudah mengembalikan uang negara, adalah bertentangan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang.

UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1991, menyebutkan antara lain ; “... kejaksaan, adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan”. Demikian juga pasal 1 ayat (3) menyatakan ; “ Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Selanjutnya penjelasan umum UU No.5 Tahun 1991,menyatakan antara lain ; “ …Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan YME dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya didalam hukum” Ketentuan UU Kejaksaan tersebut telah secara tegas menyatakan “ Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan “ artinya Presiden sebagai kepala Pemerintahan tidak dapat semena semena memerintahkan pada Kejaksaan untuk membebaskan seseorang yang terdapat cukup bukti diduga melakukan tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. UU 31 Tahun 1999 sudah secara tegas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang, maka menurut hukum Kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN ke pengadilan walaupun sudah mendapatkan Release and Discharge dari BPPN.

Dengan pertimbangan bahwa Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum maka penghentian penyidikan (SP3) yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2003 terhadap sedikitnya 10 debitur BLBI yang telah mendapatkan R&D harus juga dinyatakan sebagai cacat hukum. Pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur yang dinilai kooperatif hanya menghilangkan aspek keperdataannya sedangkan secara pidana proses hukum terhadap debitur yang diduga melakukan penyimpangan dana BLBI harus terus berjalan hingga ke tahap pengadilan.

B.      TIDAK ADA ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA BAGI PARA DEBITUR YANG MELAKUKAN PENYIMPANGAN DANA BLBI

Dalam teori ilmu hukum pidana terdapat beberapa alasan yang menghapuskan pidana seseorang yang terdiri atas 7 :
1.      Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapaskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2.      Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana , tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
3.      Alasan penghapusan penuntutan, dengan dasar pertimbangan utilitas atau kemanfaatan dimasyarakat (atau istilah lainya kepentingan umum), maka sesorang meskipun dinilai melakukan perbuatan melawan hukum, pemerintah dapat tidak mengajukan penuntutan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang penghapusan pidana antara lain:
1.      Pasal 48 KUHP
Tidak dapat dipidana barangsiapa yang melakukan perbuatan, karena pengaruh daya paksa (overmacht).

2.      Pasal 51 ayat (1) KUHP
Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

3.      Pasal 50 KUHP
Tidak dapat dipidana, barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melakukan ketentuan undang-undang

Pada prinsipnya, penyaluran dana BLBI hanya boleh dipergunakan untuk membayar atau melunasi kewajiban bank kepada pihak ketiga atau dalam hal ini dana nasabah. Namun kenyataannya dari total penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp. 144,53 triliun, audit investigasi BPK tahun 2000 telah ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan para Bank Penerima BLBI. Sebanyak 11 jenis penyimpangan yang ditemukan dalam penggunaan dana BLBI yang nilainya mencapai Rp. 84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan BLBI (per 29 Januari 1999).

Apa yang dilakukan oleh para oleh para debitur dalam menggunakan dana BLBI- yang dinilai sebagai penyimpangan oleh BPK dan merugikan keuangan negara- tidaklah tepat untuk diterapkan ketentuan penghapusan pidana sebagaimana yang diatur dalam beberapa ketentuan KUHP tersebut. Karena perbuatan yang dilakukan para debitur tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan yang dilakukan dalam kondisi memaksa/darurat (overmacht), melaksanakan perintah jabatan, maupun melaksanakan ketentuan undang-undang.

Selain penghapusan pidana, KUHP juga mengatur mengenai peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam bab VIII buku I KUHP antara lain :
1.      Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama (nebis in idem) (pasal 76 KUHP);
2.      Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP);
3.      Perkara tersebut daluwarsa (pasal 78 KUPH);
4.      Terjadinya penyelesaian di luar persidangan (pasal 82 KUHP)

Jika melihat dari kriteria-kriteria tersebut, maka tidak ada satupun kriteria yang dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan atas kasus BLBI. Selain ketentuan yang diatur dalam KUHP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dalam pasal 4 jelas menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Dengan demikian Surat Keterangan Lunas atau release and discharge bukan merupakan alasan penghapusan pidana atau peniadaan tuntutan sehingga para debitur BLBI yang dinilai tidak memliki itikad baik dan melakukan penyimpangan penggunaan dana BLBI harus tetap diproses hingga di pengadilan.



C.      CATATAN TERHADAP PROSES HUKUM PERKARA KORUPSI BLBI SELAMA INI

1.      Tidak Serius
Selain karena adanya intervensi dari presiden, salah satu sebab berlarut-larutnya penyelesaian perkara korupsi BLBI karena ketidakseriusan aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Agung. Sejak kasus korupsi BLBI mulai ditangani oleh kejaksaan tahun 2000, dari 65 orang tersangka yang dilakukan pemeriksaan, saat ini baru 16 orang tersangka atau kurang dari 25 persen yang telah dilimpahkan ke pengadilan.

Beberapa tersangka seperti Indarto Hovart Tantular (korupsi BLBI Bank Central Dagang senilai Rp 1,4 triliun) dan I Gede Darmawan ( korupsi BLBI Bank Aken senilai Rp 17 miliar ) sejak tahun 2001 kasusnya sudah pada tahap penyidikan namun hinggá saat ini belum juga dilimpahkan ke pengadilan.

Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Abdul Rachman Saleh juga tidak menunjukkan langkah kongkrit untuk segera menyelesaikan kasus korupsi BLBI yang selama ini mandeg ditingkat penyidikan. Langkah yang dilakukan pihak kejaksaan hanya sebatas evaluasi dan rencana. Pada 12 Juli 2005 Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji, menyatakan berencana mengevaluasi sekitar 30 kasus terkait BLBI tahun 1998-2003. Masing-masing kasus akan dievaluasi selama dua bulan, dan berkas kasus yang lengkap akan segera diajukan ke persidangan. Namun sempai akhir tahun 2005 tidak ada satupun kasus korupsi BLBI yang dilimpahkan ke pengadilan.

Begitu pula dengan rencana Kejaksaan yang akan mengajukan persidangan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) terhadap Agus Anwar Bos Bank Pelita yang diduga telah merugikan keuangan negara senilai Rp 1, 9 triliun dan melarikan diri ke Singapura. Rencana ini akhirnya gagal direalisasikan tanpa alasan yang jelas.


2.      Tidak Transparan
Persoalan lain yang muncul dalam penuntasan perkara korupsi BLBI adalah tidak tranparannya informasi atas perkembangan penanganan perkara yang dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian. Dalam catatan ICW pihak Kejaksaan Agung hanya satu kali melaporkan perkembangan perkara korupsi BLBI cukup terperinci (karena menyebutkan proses hukum mulai tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan hingga ekeskusi) pada saat pertemuan dengan Komisi Hukum DPR RI (dahulu Komisi II) tanggal 6 Desember 2001. Setelah pertemuan tersebut, dan telah terjadi pergantian pemerintahan dan jaksa agung, pihak kejaksaan tidak lagi melaporkan lagi perkembangan penenagan perkara korupsi BLBI kepada komisi III DPR RI. Jikapun dilaporkan biasanya sebatas pelaksanaan eksekusi dari para terpidana korupsi kasus BLBI (lihat Rapat Kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR, 29 November 2005).

Problem tersebut pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan di tengah masyarakat mengenai perkembangan proses hukum dari para debitur BLBI yang diduga merugikan kerugian negara miliaran rupiah (berapa yang sudah dilakukan penyelidikan, penyidikan, diproses di pengadilan, dan telah dieksekusi). Berapa banyak debitur BLBI yang dihentikan penyidikannya (SP3) oleh kejaksaan juga tidak jelas. Hal ini dikarenakan kejaksaan tidak secara terbuka mengumumkan siapa saja tersangka kasus korupsi BLBI yang telah di SP311. Terdapat indikasi bahwa pihak kejaksaan sengaja untuk menutup-nutupi hal tersebut.

3.      Hasil yang Tidak Memuaskan Ditingkat Pengadilan
Meskipun sudah 16 orang pelaku korupsi BLBI yang diproses ke pengadilan namun secara keseluruhan hasil yang dicapai sangat mengecewakan. Tiga tersangka dibebaskan oleh pengadilan (Leonard Tanubrata dan Kaharudin Ongko dan Leo Ardiyanto).

Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim (baik di tingkat pertama (PN), Banding atau Kasasi), 6 terdakwa divonis dibawah 18 bulan dan 2 terdakwa divonis 4 dan 8 tahun. Selebihnya 5 orang meskipun divonis seumur hidup dan 20 tahun penjara namun putusannya dijatuhkan tanpa kehadiran para terdakwa (in absentia).

Saat ini baru dua orang yang berhasil dijebloskan ke penjara yaitu Hendrawan Haryono - terpidana kasus korupsi BLBI Bank Aspac – dan David Nusa Widjaya- terpidana kasus korupsi
BLBI Bank Servitia. Empat terdakwa masih dalam proses banding/kasasi meskipun ditingkat pertama telah dinyatakan bersalah dan dihukum penjara namun tidak langsung diperintahkan masuk ke bui. Dan yang paling buruk adalah 7 orang terdakwa telah melarikan diri keluar negeri ketika vonis hakim dijatuhkan.

Dari segi kualitas mayoritas vonis hakim yang dijatuhkan sangat tidak sebanding dengan nilai kerugian negara yang telah ditimbulkan. Hendri Sunardyo dan Jemy Sutjiwan yang didakwa melakukan korupsi dana BLBI Bank South East Asia Bank sebesar Rp 280 miliar meskipun oleh hakim dinyatakan terbukti bersalah hanya divonis 10 bulan dan 8 bulan penjara. Soemeri dan Supari Dhirjo Prawiro yang diduga merugikan kerugian negara sebesar Rp 305 miliar dalam penyimpangan BLBI Bank Ficorinvest hanya divonis 18 bulan penjara.

4.      Butuh Waktu Lama Hingga Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Dapat Dieksekusi
Pada asasnya proses pengadilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan murah. Namun prakteknya proses pengadilan di Indonesia (baik pidana maupun perdata) tidak cepat, tidak sederhana dan tidak murah. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun suatu perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Proses yang memakan waktu lama ini disebabkan karana hukum di Indonesia tidak mengenal adanya limitasi waktu penyelesaian perkara baik ditingkat pertama, banding, kasasi hingga peninjauan kembali. Selain itu juga disebabkan karena para pihak dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak menerima putusan yang dijatuhkan hakim.

Hal yang sama juga terjadi dalam penyeleaian kasus korupsi BLBI yang prosesnya telah dilimpahkan ke pengadilan. Dari 16 kasus korupsi yang telah dilimpahkan baru 5 kasus yang telah divonis di tingkat kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap), selebihnya atau 11 kasus masih dalam proses dan tidak jelas. Waktu pemeriksaan yang lama hingga adanya putusan inkracht kenyataanya juga menjadi peluang bagi para terdakwa untuk melarikan diri.

Hendrawan Haryono terpidana korupsi BLBI Bank Aspac misalnya, proses hukumnya memakan waktu 4 tahun mulai dari diadili hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Herdawaan mulai diadili pada tahun 2001 dan baru bisa dieksekusi setelah adanya putusan Peninjauan Kembali MA yang memvonisnya 1 tahun penjara pada tahun 2005.

5.      Adanya Indikasi Judicial Corruption dalam Setiap Tahap Peradilan
Tidak tranparannya penyelesiaian perkara korupsi BLBI pada akhirnya membuka potensi adanya korupsi dalam penanganan perkara tersebut mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan. Pengakuan tiga debitor BLBI Bank yakni Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), James Januardi (Bank Namura-Yasonta), serta Atang Latief (Bank BIRA) yang menyatakan mereka diperas oleh oknum kejaksaan membuktikan adanya praktek korupsi dalam penyelesaian proses hukum BLBI ditingkat penyelidikan/penyidikan.

Tuntutan jaksa yang ringan maupun vonis bebas dan ringan setidaknya juga menunjukkan adanya indikasi praktek kolusi antara aparat hukum dengan terdakwa. Hal ini bisa dilihat pada kasus korupsi BLBI Bank Aspac, Setiawan Haryono yang didakwa melakukan penyimpangan dana BLBI dan telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 583 miliar oleh jaksa penuntut umum hanya dituntut 6 bulan penjara.

Kejanggalan juga muncul saat PN Jakarta Barat menjatuhkan vonis bebas terhadap Samadikun Hartono yang didakwa melakukan korupsi dana BLBI Bank Modern senilai Rp 169 miliar lebih. Banyak kalangan menilai pertimbangan yang dibuat oleh majelis hakim dianggap tidak masuk akal dan hanya mencari pembenar yang menguntungkan mantan bos Bank Modern. Putusan ini sendiri akhirnya dibatalkan ditingkat kasasi setelah MA menyatakan Samadikun bersalah dan dijatuhi vonis 4 tahun penjara. Sayangnya vonis ini tidak dapat diekskusi karena terpidana telah melarikan diri keluar negeri.

D.     ALTERNATIF PENYELESAIAN

Setidaknya ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam memecahkan kebuntuanpenyelesaian perkara korupsi BLBI.

1.      Pemberian Jaminan Adanya Grasi terhadap Debitur BLBI yang menjalani proses hukum dan bersedia mengembalikan seluruh utangnya kepada negara

Seperti yang telah banyak diuraikan sebelumnya, kebijakan presiden dalam penyelesian kasus BLBI dalam bentuk Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge dapat diartikan sebagai bentuk intervensi presiden terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Langkah kompromi dan diskriminatif khsusus kepada para debitur BLBI juga menunjukkan kesan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya. Bagaimanapun juga bentuk intervensi yang dilakukan pemerintah dengan pengeluaran Inpres tersebut tidak dapat dibenarkan karena telah bertentangan dengan sejumlah paraturan perundang-undangan.

Secara legal sesungguhnya Presiden dapat melakukan “intervensi” dalam penyelesaian kasus korupsi BLBI dengan cara memberikan grasi. Kebijakan ini dilakukan tidak terhadap proses hukum yang sedang berjalan (masih dalam tahap penyelidikan,penyidikan atau penuntutan) namun setelah proses hukumnya selesai dilaksanakan (dalam arti telah ada putusan berkekuatan hukum tetap).

Dalam penjelasan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi disebutkan bahwa Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Namun pemberian grasi ini dapat dilakukan dengan mensyaratkan pada dua hal. Pertama, proses hukum harus tetap berjalan. Hal ini berarti bahwa para debitur BLBI tersebut harus menjalani proses hukum hinggá ke pengadilan dan telah mempunyai putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kedua, para debitur BLBI tersebut menyesal dan mengkui perbuatannya serta mengembalikan seluruh kerugian negara (membayar seluruh utangnya kepada negara ditambah dengan bunga) yang telah dinikmatinya.

Atas putusan pengadilan tersebut Chun menyatakan menerima dan menyesali perbuatannya serta sekaligus meminta maaf kepada seluruh rakyat Korea Selatan dan dilanjutkan dengan mengembalikan seluruh hasil korupsi yang pernah dilakukan. Pada akhirnya Chun tidak menjalani hukuman karena adanya pengampunan yang diberikan oleh Presiden Korea Selatan yang saat itu berkuasa, Kim Dae Jung.


2.      Pengambilalihan oleh KPK
Alternatif lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan korupsi BLBI adalah dengan meminta KPK untuk mengambil alih penanganan perkara yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Berdasarkan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002 disebutkan KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan dengan alasan:
a.      laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b.      proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c.       penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d.      penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e.      hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f.        keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan

Penanganan perkara korupsi BLBI yang selama ini dilakukan kejaksaan (dan juga kepolisian)
setidaknya telah memenuhi 4 dari 6 alasan yang ditentukan oleh pasal 9 UU KPK yaitu:


Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan mengapa KPK merupakan institusi yang tepat dalam menangani perkara korupsi BLBI. Pertama, KPK tidak mengenal penghentian penyidikan apabila perkara korupsi yang ditanganinya telah masuk tahap penyidikan. Kedua, tugas dan kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh KPK sehingga penanganan perkara korupsi relatif tidak mengalami hambatan. Ketiga, minim terhadap adanya indikasi judicial corruption dan ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya dalam penanganan perkara mulai tahap penyidikan hingga proses dipengadilan karena secara integritas SDM yang ada di KPK dan juga pengadilan tipikor masih dapat dipercaya.

Keempat, relatif tidak mengalami gangguan atau intervensi dari ekskutif, yudikatif dan legislatif. Kelima, waktu penanganan relatif lebih cepat khususnya apabila perkara telah dilimpahkan ke pengadilan tipikor. UU No. 30 Tahun 2002 mengenal adanya limitasi pemeriksaan perkara korupsi di pengadilan tipikor. Hanya butuh waktu maksimal 8 bulan hingga suatu perkara telah mempunyai putusan inkracht dan dapat dieksekusi. Keenam, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tipikor jauh lebih adil dan lebih berat dari pengadilan biasa. Kecil kemungkinan pengadilan tipikor akan membebaskan terdakwa kasus korupsi.


V.                  KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.     Kesimpulan

1.      Kebijakan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI yang lebih mengutamakan mendapatkan pengembalian utang dari para konglomerat pada akhirnya telah mengabaikan prinsip bahwa semua orang sama didepan hukum (equality before the law) dan bertindak jauh dari rasa keadilan dalam masyarakat karena memberikan keistimewaan bagi para pelaku korupsi BLBI serta mengaburkan pengertian “demi kepentingan hukum” sebagai suatu alasan untuk menghentikan penuntutan.

2.      Kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perkara korupsi BLBI dalam bentuk Inpres No. 8 Tahun 2002 merupakan produk hukum yang cacat hukum karena bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undanagan yang lebih tinggi seperti UUD 45, TAP MPR, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Kejaksaan. Selain itu Inpres ini merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Dengan demikian segala langkah/tindakan yang diambil berdasarkan Inpres tersebut harus juga dianggap cacat hukum.

3.      Tidak ada alasan penghapusan pidana bagi para debitur yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI. Surat Keterangan Lunas maupun R&D hanya melepaskan dan membebaskan dari aspek keperdataannya namun secara pidana proses hukum harus tetap berjalan hingga proses ke pengadilan.

4.      Penanganan perkara korupsi BLBI yang selama ini ditangani oleh aparat penegak hukum khususnya kejaksaan pada prakteknya menunjukkan beberapa catatan buruk seperti ketidakseriusan kejaksaan dalam penuntasan perkara korupsi BLBI, tidak transparannya penanganan perkara korupsi , hasil yang tidak memuaskan ditingkat pengadilan, terdapat indikasi judicial corruption dalam penanganan perkara, dan memakan waktu yang lama hingga terpidana dapat dieksekusi.

B.      Rekomendasi

1.      Presiden harus mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang R&D karena bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan. Sebagai gantinya Presiden perlu menerbitkan Inpres baru mengenai kebijakan penyelesaian kasus BLBi yang tranparan dan adil dengan tetap mengedepankan proses penegakan hukum. Perlu dipertimbngkan adanaya kebijakan khusus dalam bentuk jaminan pemberian grasi bagi para debitur BLBI yang bersedia menjalani proses hukum dan memenuhi kewajiban menyelesaikan hutang berikut bunganya kepada negara.

2.      KPK perlu mengambil alih proses hukum perkara korupsi BLBI yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian. Beberapa fakta dalam penanganan perkara korupsi BLBI yang selama ini ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan telah memenuhi alasan bagi KPK untuk mengambil alih perkara tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Infoblbi.com/files/200805211715470....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar